Bogor,Metro Sumut
Di Amazon, tanah ini disebut Terra
Preta. Suku-suku asli Kalimantan Timur, seperti suku Merap yang
tinggal di dataran rendah menyebutnya tiem dan suku Punan di dataran tinggi
memanggilnya punyuh. Arti kata
tersebut dalam ketiga bahasa itu sama: “Tanah Hitam,” deskripsi yang pas untuk
tanah kaya kandungan nutrisi yang sangat berharga bagi suku-suku penghuni hutan
tropis.
Suatu
tim ilmuwan lintas disiplin yang diketuai sepasang peneliti CIFOR menemukan
bukti bahwa “Tanah Hitam” di Kalimantan Timur, sama halnya dengan yang di
Amazon, bersifat “Antropogenik” — hasil budidaya manusia selama puluhan tahun,
bahkan berabad-abad. Temuan ini dipublikasikan dalam sebuah makalah
ilmiah di jurnalForestry.
Bila
studi ini dapat dibuktikan lebih jauh lagi, situs-situs di Kalimantan ini akan
menjadi bukti ilmiah tercatat pertama akan adanya Bumi Hitam Antropogenik
(ADEs) di bagian tropis Asia. Fenomena ini sudah dikenal di Amerika Latin sejak
awal abad duapuluh. Meski terpisah jarak hampir 20.000 kilometer, baik ADE
Amazonia dan Indonesia diperkirakan berasal dari budi daya pertanian yang sama:
“Tebang arang,” dan bukan pola yang lebih umum terjadi yaitu tebang bakar.
“Apa
yang kami lihat (di lokasi penelitian kami) di Malinau (Kalimantan Timur)
adalah bukti bahwa ADE yang disebabkan oleh penggunaan teknik “tebang arang”
membawa peningkatan kualitas tanah dan tidak selalu merupakan pengetahuan suku
Amazon yang telah lama hilang, seperti yang dipercayai sebagian orang,” kata
Douglas Sheil, penulis utama makalah tersebut dan peneliti program Hutan dan
Lingkungan Hidup di CIFOR.“Perbaikan-perbaikan tanah ini dapat menyerap
sejumlah besar karbon, melindungi keanekaragaman hutan dan membantu
meningkatkan pertanian lestari di daerah-daerah yang sudah gundul dan hasil
lahannya buruk.“Tanah-tanah ini dapat dikembangkan dengan cara-cara dan
teknologi yang sederhana dan murah yang dapat mengurangi tekanan pada tanah
serta meningkatkan keberlanjutan ketahanan pangan di daerah-daerah di mana
lahan langka,” ujarnya lagi.
Sheil memperingatkan bahwa asal muasal ADE
belum sepenuhnya dapat dipahami. Namun, 15 persen karbon dalam kandungan tanah
diperkirakan ada karena “arang”.Perladangan berpindah – termasuk metode “tebang
bakar” dan “tebang arang” — dipraktekkan banyak suku.
Dalam metode “tebang dan bakar”, pohon dan
tanaman berbatang kayu ditebang dan dibakar sebagai persiapan lahan untuk
ditanami – cara ini menghasilkan nutrisi tanah yang meningkatkan produktivitas
untuk sementara.
Ketika
pembakaran dilakukan secara menyeluruh dan yang tersisa hanya abu, pengayaan
tanah bertahan tidak lama dan lahan harus lebih lama dibiarkan tidak terpakai
sebelum siap untuk digunakan kembali.
Namun,
metode yang hanya membakar sebagian, atau “tebang dan arang”, dapat memperbaiki
struktur tanah dan menyediakan penyimpanan nutrisi yang lebih tahan lama yang
berasal dari berbagai sumber, tetapi tampaknya mencerminkan pengolahan makanan
dan limbah yang terkait dengan keberadaan manusia. Dengan berjalannya waktu,
jika siklus pembersihan nutrisi arang berulang kali terjadi, hasilnya akan
terjadi pembentukan ADE.
Peningkatan
kesuburan tanah memungkinkan penduduk asli mempertahankan penghidupan mereka
sendiri tanpa menggunakan pupuk kimia yang mahal. Hal ini juga membantu
pelestarian keanekaragaman hutan serta penyerapan karbon sebesar lima sampai tujuh kali lipat, yang dapat berlangsung selama
berabad-abad, bahkan ribuan tahun, dibandingkan dengan hutan hujan di
sekitarnya.
Dari
wawancara di lapangan, para peneliti mengetahui bahwa petani yang tinggal di
hulu sungai Malinau di Kalimantan membersihkan lahan dengan cara yang lebih
mirip dengan “tebang dan bakar”. Teknik “tebang dan arang” pada umumnya
terjadi dengan tidak disengaja, ketika seringnya guyuran hujan menghentikan
pembakaran lebih awal dari yang direncanakan.
Hal
ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa hanya dua plot di antara 202 plot yang
disurvei memiliki tingkat karbon 15 persen seperti di sampel Terra
Preta dari Amazon,
ungkap Imam Basuki, salah satu penulis makalah tersebut dan rekan peneliti di
CIFOR.
Basuki
menambahkan bahwa penelitian baru tersebut menyajikan argumen yang menyakinkan
mengapa teknik tebang arang sebaiknya digunakan masyarakat lokal untuk
peningkatan kesuburan tanah. “Hasil ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan
kepada petani dan pembuat kebijakan lokal bahwa sistem ini dapat meningkatkan
produktivitas beras mereka,” tambahnya.
Meskipun
terpencil, kabupaten Malinau sangat penting sebagai penyimpan air untuk untuk Kalimantan Timur, termasuk
ibukota provinsi. Daerah ini juga termasuk “lokasi terpenting” untuk
keanekaragaman hayati, seperti yang diakui oleh World Wildlife Fund dalam
kampanye konservasi “Jantung Borneo” yang dijalankannya.
Ini
menjadi salah satu alasan lagi untuk mempromosikan tebang arang di Kalimantan,
kata Basuki. Jika upaya pengayaan tanah melalui “tebang arang” dapat terjadi
tanpa disengaja, seberapa banyak lagi yang bisa dicapai melalui upaya yang
terarah.(Silvia)
0 komentar:
Posting Komentar